makalah keperawatan anak

BAB I

Pendahuluan

 

  1.     Latar Belakang

 

Dewasa ini , anak-anak sering menjadi pihak yang diabaikan dan di pandang sebelah mata dalam pertumbuhannya. Para orang tua yang sibuk akan urusannya masing-masing. Anak merupakan individu yang memiliki eksistensi, memiliki untuk tumbuh dan berkembang. Dunia anak ialah dunia bermain yang merupakan cermin kemampuan fisik, intelektual, sosial dan spiritualnya. Bermain juga merupakan media yang baik untuk belajar karena bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan melakukan apa yang dapat dilakukan.

Peran perawat ialah untuk memperhatankan dan memfasilitasi koping anak, terutama anak yang mengalamai masalah kesehatan yang mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangannya, termasuk pada anak dalam proses hospitalisasi melalui pelayanan keperawatan anak. Fokus utama dalam pelaksanaan keperawatan anak adalah peningkatan dan pencegahan penyakit, dengan  falsafah yang utama yaitu asuhan keperawatan yang terapeutik yaitu membina hubungan saling percaya antara perawat.

 

  1.      Tujuan

–          Tujuan umum

Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang keperawatan pediatrik/anak

–          Tujuan khusus

Mahasiswa dapat mengerti :

  1.        Perkembangan keperawatan anak
  2.       Empat komponen paradigma keperawatan
  3.        Mengetahui peran perawat dalam perawatan anak
  4.       Mengetahui atraumatic care
  5.        Hospitalisasi keperawatan anak

 

  1.      Rumusan Masalah

–          Perkembangan keperawatan anak

–          Paradigma keperawatan

–          Pengaruh lingkungan

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1.     Perkembangan keperawatan anak

 

  1.          Sejarah Keperawatan Anak

Sebelum abad ke-19 , keperawatan anak kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak.  Jumlah tenaga kesehatan terutama dokter dan bidan sangat sedikit, sementara epidemik terjadi di banyak tempat dan tidak terkontrol. Selain itu, buku-buku informasi  tentang kesehatan sangat sedikit. Pelayanan kesehatan yang dijalankan untuk anak hanya sebatas pada daerah perkotaan dan dalam bentuk pelayanan keliling dan perawatan tradisional. Statistik tentang kesehatan anak tidak ada,padahal wabah penyakit anak banyak terjadi, seperti cacar,flu, difteri, dan terjadi epidemik secara perlahan terutama karena penyakit TBC dan gangguan gizi.

Akhir abad ke-19 dikatakan sebagai abad kegelapan untuk kesehatan anak ( the dark age pediatric ). Sampai pada pertengahan tahun 1800 mulai ada studi kesehatan anak yang dilakukan oleh tokoh kesehatan anak, yaitu Abraham Jacobi yang melakukan penyelidikan penyakit pada anak .ia memperhatikan kesehatan anak khususnya pada tunawisma dan buruh upayanya di dukung oleh seorang wanita yang bernama Lilian Wald , yang mengembangkan dalam bidang keperawatan yang juga berfokus pada kegiatan sosial, program sosial dan pendidikan khusus untuk orang tua dalam hal perawatan anak sakit. Selanjutnya tumbuh upaya kesehatan anak-anak sekolah (UKS) dan berkembang kursus-kursus kesehatan sekolah.

Awal tahun 1900, perawatan isolasi berkembang sejak ditemukannya penyakit menular. Orang tua dilarang mengunjungi anak-anak dan membawa barang-barang mainan dari dari rumah kerumah sakit . akan tetapi pada tahun 1940 di temukan efek psikologis dari tindakan isolasi, yaitu , anak menjadi setress selama dirumah sakit. Karena anak tres dan tidak tenang atau gelisah tanpa ada orang tua disampingnya, orang tua pun semakin setres. Akhirnya orientasi perawatan anak berubah menjadi rooming in yaitu orang tua boleh menmani anaknya dirumah sakit selama 24 jam selain itu mainan boleh dibawa kerumah sakitdan penting untuk perawat atau tenaga kesehatan anak untuk mempersiapkan anak dan orang tuanya sebelum dirawat dirumah sakit.

Dengan demikian pendidikan kesehatan bagi orang tua menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh perawat, kerja sama antara orang tua dan tim kesehatan dirasakan besar manfaatnya dan orang tua didorang untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan anak nyadan orang tua tidak hanya sekedar menjadi pengunjung bagi anaknya. Bebrapa bukti ilmiah menunjukan pentingnya keterlibatan orang tua dalam perawatan anaknya dirumah sakit ( Darbyshire 1992 dan carter & dearmun 1995 ) .

Keberadaan orang tua terutama kelompok orang tua yang anaknya mempunyai jenis penyakit yang sama ternyata dapat membuat orang tua lebih percaya diri dan dan merasa ada dukungan psikologis sehingga diharapkan dapat bekerja sama menjadi mitra tim.

 

 

 

 

  1.      Paradigma Keperawatan Anak

 

Terdapat empat komponen yang di paparkan dalam paradigma keperawatan yang mana keempat komponen itu adalah manusia atau anak itu sendiri,sehat, lingkungan , dan keperwatan itu sendiri.keempat komponen tersebut di gambarkan dalam bagan sebagai berikut, ( Supartini, Yupi : 2004 )

 

  1.          Manusia ( anak )

Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah manusia berusi 0 – 18 tahun, yang sedang dalam proses tumbuh kembang , mempunyai kebutuhan spesifik , ( fisik , sosial, dan spiritual ) yang berbeda dengan orang dewasa. Kebutuhan fisik/biologis anak termasuk makan , minum, eliminasi, udara, tempat berteduh bahkan kehangatan. Secara psikologis anak membutuhkan cinta dan kasih sayang, rasa aman dan bebas dari ancaman. Anak membutuhkan disiplin otoritas untuk menghindari bahaya,  mengembangkan kemampuan berfikir dan bertindak mandiri. Anak juga di beri kesempatan untuk berfikir,dan membuat keputusan secara mandiri. Untuk pengembangan harga diri anak perlu diberi penghargaan peribadi terutam pada usia 1 -3 tahun ( toodler ) , penghargaan merupakan bentuk positif dalam membentuk harga diri. Untuk itu dipelukan penerimaan dan pengakuan dari orang tua dan lingkungannya. Secara sosial anak membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasinya untuk berinteraksi bermain dan mengekpresikan ide/pikiran dan perasaannya sedangkan secara spiritual anak memerlukan penanaman nilai agama dan moral serta nilai budaya sebagai anggota masyarakat timur.

Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini, anak juga bukan merupakan harta kekayaan orang tua yang dapat di nilai secara sosial ekonomi , melainkan masa depan bangsa yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang di maksud bisa berupa keluarga ( orang tua ) , pengurus panti ( bila anak berada di panti asuhan ) atau bahkan tanpa orang tua bagi mereka yang hidupnya menggelandang semua individu tersebut menjadi klien keperawatan anak.

 

  1.          Sehat

Sehat dalam keperawatan anak adalah dalam rentang sehat-sakit. Sehat adalah keadaan optimal antara fisik , mental dan sosial yang haus dicapai sepanjang kehidupan dalam rangka mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai dengan usianya. Dengan demikian , apabila anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan prkembangan fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Sehat sakit berada dalam suatu rentang mulai dari sehat optimal pada satu kutub sampai meninggal pada kutub lainnya seperti terlihat berikut ini.

Sehat optimal                                          sakit berat                                meninggal

Sepanjang rentang tersebut, anak memerlukan bantuan perawat baik secara langsung saat anak sakit maupun tidsk langsung dengan melakukan bimbingan antisipasi pada orang tuanya. Dalam keadaan sehat optimalpun anak memerlukan bantuan perawat, misalnya untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan, seperti pelayanan imunisasi atau peningkatan pengetahuan tentang kebersihan perseorangan dan gizi yang memenuhi syarat kesehatan. Apabila terjadi perbedaan persepsiantara oarang tua dan perawat tentang konsep sehat sakit tersebut, timbul masalah pemahaman keluarga tentang makna sehat sakit. Kondisi sehat yang berat menurut persepsi perawat, dapat dipersepsikan sebagai suatu kondisi yang biasa saja oleh orang tua. Untuk itu diperlukan bantuan perawat untuk menyamakan persepsi tersebut. Pada kutub ekstrim, yaitu kematian anak, orang tua tetap memerlukan bantuan perawat untuk mengantarkan anak pada kematian yang tenang melalui perawatan menjelang ajal (dying care).

  1.       Lingkungan

Seperti telah dikemukakan di atas, anak adlah individu yang masih bergantung pada lingkungan, yaitu orang dewasa disekitarnya. Lingkungan terdiri atas lingkungan internal dan lingkungan  eksternal dandapat memengaruhi kesehatan anak. Lingkungan internal yaitu genetik (keturunan), kematangan biologis, jenis kelamin, intelektual, emosi, dan adanya predisposisi atau resistensi terhadap penyakit. Lingkungan eksternal, yaitu status nutrisi, orang tua, saudara sekandung (sibling), masyarakat atau kelompok sekolah, kelompok atau gen, disiplin yang ditanamkan orang tua, agama, budaya, status sosial dan ekonomi, iklim, cuaca sekitar dan lingkungan fisik atau biologis, baik rumah maupun sanitasi disekelilingnya. Perkembangan anak sangat dipengaruhi rangsangan terutama dari lingkungan eksternal, yaitu lingkungan yang aman, peduli, dan penuh dengan kasih sayang.

  1.       Keperawatan

Komponen ini merupakan bentuk pelayanan pelayanan kesehatan yang komprehensif meliputi biologi, psikologis, social dan spiritual yang ditujukan pada individu, keluarga, masyarakat dan kelompok khusus yang mengutamakan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diberikan dalam kondisi sehat maupun sakit. Anak sebagai individu maupun salah satu anggota keluarga merupakan sasaran dalam pelayanan keperawatan, Sehingga perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan harus memandang anak sebagai individu yang unik yang memiliki kebutuhan tersendiri sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya.

Fokus utama dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan adalah peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, dengan falsafah yang utama, yaitu asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan perawatan yang terapeutik. Selama proses asuhan keperawatan yang dijalankan, keluarga dianggap sebagai mitra bagi perawat dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Dua konsep yang mendasari dalam kerjasama orang tua dan perawat ini adalah memfasilitasi keluarga untuk aktif terlibat dalam asuhan keperawatan anaknya di rumah sakit dan memberdayakan kemampuan keluarga baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan maupun sikap dalam melaksanakan perawatan anaknya di rumah sakit, melalui interaksi yang terapeutik dengan keluarga(empowening). Bentuk intervensi utama yang diperlukan anak dan keluarganya adalah pemberian dukungan, pemberian penkes, dan upaya rujukan kepada tenaga kesehatan lain yang berkompeten sesuai dengan kebutuhan anak.

 

  1.      Peran perawat dalam keperawatan anak

 

Perawat adalah salah satu anggota tim kesehatan yang bekerja dengan anak dan orang tua. Beberapa peran penting seorang perawat anak, yaitu sebagai pembela (advocacy), pendidik, konselor, koordinator, pembuat keputusan etik, perencana kesehatan, pembina hubungan terapeutik, pemantau, evaluator dan peneliti. Perawat dituntut sebagai pembela bagi anak/keluarganya pada saat mereka membutuhkan pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan/menentukan pilihan, dan meyakinkan keluaarga untuk menyadari pelayanan yang tersedia, pengobatan, dan prosedur yang dilakukan dengan cara melibatkan keluarga.

Perawat berperan sebagai pendidik baik secara langsung dengan memberi penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua anak maupun secara tidak langsung dengan menolong orang tua/anak memahami pengobatan dan perawatan anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan kesehatan dapat mencakup pengertian dasar tentang penyakit anaknya, perawatan anak selama anak dirawat di rumah sakit, serta perawatan lanjut untuk persiapan pulang ke rumah. Tiga domain yang dapat diubah oleh perawat melalui pendidikan kesehatan adalah pengetahuan, keterampilan, serta sikap keluarga dalam hal kesehatan, khususnya perawatan anak sakit.

Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa dukungan/dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat memberi konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal ini yang membedakan layanan konseling dengan pendidikan kesehatan. Dengan cara mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara fisik, perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak tentang masalah anak denga keluarganya, dan membantu mencarikan alternatif pemecahannnya.

Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dengan tujuan terlaksananya asuhan yang holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci untuk menjadi koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada di samping pasien. Keluarga adalah mitra perawat. Oleh karena itu, kerja sama dengan keluarga juga harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan informasi dari keluarga saja, melainkan seluruh rangkaian proses perawatan anak harus melibatkan keluarga secara aktif.

Perawat dituntut untuk dapat berperan sebagai pembuat keputusan etik dengan berdasarkan pada nilai moral yang diyakini dengan penekanan pada hak pasien untuk mendapat otonomi, menghindari hal-hal yang merugikan pasien, dan keuntungan asuhan keperawatan, yaitu meningkatkan kesejahteraan pasien. Perawat juga harus terlibat dalam perumusan rencana pelayanan kesehatan di tingkat kebijakan. Perawat harus mempunyai suara untuk didengar oleh para pemegang kebijakan dan harus aktif dalam gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak. Perawat yang paling mengerti tentang layanan keperawatan anak. Oleh karena itu, perawat harus dapat meyakinkan pemegang kebijakan bahwa usulan tentang perencanaan pelayanan keperawatan  yang diajukan dapat memberi dampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak.

Akhirnya sebagai peneliti, perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh dalam upaya menemukan masalah-masalah keperawatan anak yang harus diteliti, melaksanakan penelitian langsung, dan menggunakan hasil penelitian kesehatan/keperawatan anak dengan tujuan meningkatkan kualitas praktik/asuhan keperawatan pada anak. Untuk peran ini diperluka kemampuan berpikir kritis dalam melihat fenomena yang ada dalam layanan asuhan keperawatan anak sehari-hari dan menelusuri penelitian yang telah dilakukan serta mengguakan literatur untuk memvalidasi masalah penelitian yang ditemukan. Pada tingkat kualifikasi tertentu, perawat harus dapat melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan anak. ( Supartini, Yupi : 2004 )

  1.     Atraumatic care

 

Atraumatic care atau assuhan yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya merupakan asuhan yang terapeutik karena bertujuan sebagai terapi bagi anak. Dasar pemikiran pentingnya asuhan terapeutik ini adalah bahwa walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pediatrik telah berkembang pesat, tindakan yang dilakukan pada anak tetap menimbulkan trauma, rasa nyeri, marah, cemas, dan rasa takut pada anak. Sangat disadari bahwa sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat mengatasi masalah yang timbul sebagai dampak perawatan tersebut di atas. Hal ini memerlukan perhatian khusus dari tenaga kesehatan, khususnya perawat dalam melaksanakan tindakan pada anak dan orang tua.

Atraumatik care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak , melalui pengunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami anak maupun orang tuanya . atraumatic care bukan suatu bentuk intervensi yang nyata terlihat, tetepi memberi perhatian pada apa , siapa , dimana , mengapa dan bagaimana prosedur dilakukan pada anak dengan tujuan mencegah dan mengurangi stres fisik dan psikologi.

 

  1.       Prinsip utama dalam asuhan terapeutik
  2.        Cegah atau turunkan dampak perpisahan antara orang tua dan anak dengan menggunakan pendekatan family centa
  3.       Tingkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anaknya. Pendidikan kesehatan merupskan strategi yang tepat untuk menyiapkan orang tua sehingga terlibat aktif dalam perawatan anaknya.
  4.        Cegah dan atau turunkan cedera baik fisik maupun psikologis. Rasa nyeri karena tindakan perlukaan ( misalnya : disuntik ) tidak akan bisa dihilangkan tetapi dapat dikurangi dengan menggunakan teknik distraksi atau relaksasi.
  5.       Modifikasi lingkungan fisik rumah sakit dengan mendesainnya seperti dirumah, yaitu penataan dan dekorasi yang bernuansa anak ( misalnya mengguanakan alat tenun dan tirai bergambar bunga atau binatang lucu , hiasan dinding bergambar dunia binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar lucu , dinding berwarna dan penggunaan warna yang cerah di ruangan, dantangga di cat berwarna-warni ).

Satu hal yang harus menjadi perhatian perawat adalah dampak dari ligkungan fisik rumah sakit dan perilaku petugas itu sendiri sering kali menimbulkan trauma pada anak.Lingkungan rumah sakit yang asing bagi anak maupun orang tuanya dapat menjadi stressor bagi anak, sedangkan orang tua dapat menjadi stres apabila mendapat informasi yamg mengejutkan tentang kondisi penyakit anaknya.

Dengan demikian,jelas lingkungan fisik dan psikologi rumah sakit dapat menjadi strresor bagi anak.Selain perilaku petugasnya, ruang perwatan untuk anak tidak dapat disamakan seperti orang dewasa. Ruang tersebut memerlukan dekorasi ang penuh dengan nuansa anak, seperti adannya gambar dinding berupa gambar binatang dan / atau bunga ,tirai dan sprai serta sarung bantal yang bewarna dan bercorak binatang atau bunga,cat dinding dan bewarna, seta tangga yang pegangganya berwarna ceria.

Konsep terapi bermain perkembangan anak antara lain :

  1.       Masa bayi (0-1 Tahun)

Stimulus yang di berikan melalui aktivitas bermai bertujuan untuk

  1.        Melatih dan mengevaluasi reflek-reflek fisiologis
  2.       Melatih koordiasi antara mata dan tangan serta mata dan telinga.
  3.        Melatih untuk mencari objek yang tidak kelihatan.
  4.       Melatih sumber asal suara
  5.        Melatih kepekaan perabaaan

Contoh alat permainan yang di anjurkan adalaah benda yang aman untuk  dimasukkan ke mulut ,boneka orang/binaytang yang lunak , mainan yang bersuara, giring giring, bola dan lain lain.

  1.       Masa balita (2-3 tahun)

Tujuan berman pada masa balita adalah:

  1.        Mengembangkan keterampilan bahasa
  2.       Melatih motorik halus dan kasar
  3.        Mengembangkan kecerdasan (mengenal warna, berhitung)
  4.       Melatih daya imajinasi
  5.        Menyalurkan perasaaan anak

Alat permainan yang dianjurkan bagi anak pada masa ini, misalnya lilin yang dapat dibentuk ,alat yang untuk menggambar, puzzle sederhana , manik-manik, dan alat-alat rumah tangga. Pada masa ini,kelakuan anak sangat  menonjol(egosentris) dan anak belum memahami makna dari memiliki, sehingga  anak sering berebut mainan karena masing-masing menganggap bahwa mainan itu adalah miliknya.

  1.       Masa prasekolah akhir (4-5 tahun)

Alat permaian yang dianjurakan misalnya buku, majalah, alat tulis atau krayon, balok, dan aktivitas berenang. Pada masa ini bermain mempunyai tujuan seperti berikut :

  1.         Mengembangkan kemampuan berbahasa, berhitung, serat menyamakan dan membedakan.
  2.       Merangsang daya imajinasi
  3.        Menumbuhkan sportivitas, kreativitas, dan kepercayaan diri.
  4.       Memperkenalkan ilmu pengetahuan, suasana gotong royong, dn kompetisi
  5.        Mengembangkan  koordinasi motorik sosialisasi, dan keampuan untuk mengendalikan emosi.

 

  1.      Lingkup Praktik Keperawatan Anak

Lingkup praktik merupakan hak dan otonomi dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berdasarkan atas kemampuan, tingkat pendidikan yang diniliki, dan dilakukan selama batas keprofesian. Sedangkan praktik keperawatan itu sendiri merupakan tindakan mandiri perawta profesional maupun melalui tindakan kolaboratif dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan. Lingkup praktik keperawatan anak merupakan batasan asuhan keperawatan yang duberikan pada klien anak yang berusia 28 hari sampai 18 tahun atau usia bayi baru lahir samapi 12 bulan (Gartinah, dkk 1999). Dalam memberikan asuhan keperawatan anak harus berdasarkan kebutuhan dasar anak yaitu, kebutuhan untuk \umbuh kembang seperti asuh, asih, dan asah (Sularyo, 1993).

1)    Kebutuhan Asuh

Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan dasar fisik yang harus dipenuhi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Kebutuhan ini dapat meliputi kebutuhan akan gizi, kebutuhan pemberian tindakan keperawatan dalam meningkatakan dan mencegah penyakit, kebutuhan pengobatan, kebutuhan tempat atau perlindungan yang layak, kebutuhan hygiene perseorangan dan sanitasi lingkungan yang sehat, dan kebutuhan akan pakaian, kebutuhan jasmani dan rekreasi.

2)      Kebutuhan Asih

Kebutuhan ini berdasarkan adanya pemberian kasih sayang pada anak atau memperbaiki psikologi anak. Perkembangan anak banyak ditentukan oleh perkembangan psikologis yang termasuk didalamny ialah perasaan kasih sayang atau hubungan anak dengan orang tua atau orang disekelilingnya karena akan memperbaiki perkembangan psikologisnya. Terpenuhnya kebutuhan ini akan meningkatakan ikatan kasih sayang  yang erat (bonding), dan tercipanya rasa percaya yang kuat (basic trust).

3)      Kebutuhan Asah

Pemenuhan kebutuhan asah (stimulasi mental) akan memperbaiki perkembangan anak sejak dini sehingga perkembangan psikososial, kecedasan, kemandirian, kreativitas pada anak akan sesuai dengan harapan sesuai usia pertumbuhan dan perkembangan.

 

  1.       Penyakit pada anak
  2.       Asma

Asma adalah penyakit paru yang didalamnya terdapat obstruksi jalan napas, inflamasi jalan napas, dan jalan napas yang hiperresponsif atau spasme otot polos bronkial

  1.       Ispa

Ispa adalah infeksi pada saluran pernapasan atas yang biasanya ditandai dengan bersin-bersin, hidung tersumbat atau meler, demam dan mungkin juga batuk

  1.       Infeksi radang tenggorokan

Radang tenggorokan dapat merupakan tanda awal pilek, tapi juga dapat merupakan gejala penyakit tersendiri yang disebut infeksi radang tenggorokan.

  1.       Rhinitis alergi

Rhinitis alergi adalah peradangan hidung yang disebabkan oleh alergi.

  1.       Infeksi telinga tengah

Infeksi telinga tengah (otitis media) sangat umum pada balita, yang biasanya mengikuti flu

  1.       Cacar air

Cacar air disebabkan oleh salah satu jenis virus herpes. Gejala khas cacar air adalah bintik-bintik merah di tubuh yang berubah menjadi benjolan-benjolan bening berisi air yang gatal dan menyebar di seluruh tubuh dalam beberapa hari.

 

  1.       Diare

Diare, yang mungkin juga disertai muntah, bukanlah penyakit tetapi gejala dari penyakit tertentu. Penyebab diare paling umum adalah infeksi virus. Penyebab lainnya adalah infeksi bakteri, efek samping antibiotik, dan keracunan.

  1.       Masalah kulit

Masalah kulit pada anak sangat beragam penyebabnya. Reaksi obat, infeksi, gigitan serangga, parasit dan alergi dapat menyebabkan masalah kulit. Kebanyakan masalah kulit menghilang sendiri tanpa pengobatan apapun.

  1.       Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri pada paru-paru yang diperkirakan memengaruhi sekitar sepertiga penduduk dunia.

  1.   Difteri

Difteri adalah infeksi berat pada tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri.

  1.   Tetanus

Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di dalam tanah dan kotoran hewan.

  1.   Pertusis (batuk rejan)

Infeksi bakteri yang sangat menular ini menyebar melalui batuk dan bersin.

  1.   Campak

Campak pernah menjadi penyakit anak yang paling umum sebelum vaksinnya ditemukan. Campak dimulai seperti pilek yang disertai demam, lalu muncul ruam setelah dua hari. Pada kasus yang serius, campak dapat menyebabkan bronkitis, bronkiolitis, infeksi telinga dan gangguan sistem saraf.

  1.   Gondongan

Gondongan adalah infeksi virus yang menyebabkan pembengkakan di sekitar pipi dan leher yang disertai demam, sakit kepala, dan sakit tenggorokan.

  1.   Rubella

Rubella adalah infeksi virus yang ditandai dengan demam, ruam merah yang tidak gatal dan pembengkakan kelenjar.

  1.   Polio

Virus polio menyerang otak dan sumsum tulang belakang dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Penyakit ini menyebar melalui kontak dengan lendir, feses atau air liur orang yang terinfeksi.

  1.   Meningitis

Meningitis adalah radang pada selaput yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meninges).

 

  1.   Pneumonia

Pneumonia adalah penyebab utama kematian pada anak di seluruh dunia. Sekitar 1,6 juta anak setiap tahun meninggal karena penyakit ini, lebih dari AIDS, malaria dan TBC digabungkan. Pneumonia adalah infeksi pernapasan akut yang memengaruhi paru-paru. Pada penderita pneumonia, alveoli paru dipenuhi dengan nanah dan cairan sehingga bernapas jadi menyakitkan dan asupan oksigen berkurang.

  1.   Hepatitis A

Hepatitis A adalah infeksi virus pada hati yang menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi atau melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.

 

  1.   Hepatitis B

Hepatitis B adalah penyakit virus yang menyebabkan iritasi dan peradangan hati.

 

  1.   Leukemia

Leukemia adalah jenis kanker yang memengaruhi darah dan sumsum tulang.

 

  1.   Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri salmonella typhi yang hanya dapat hidup di darah dan saluran usus manusia..

 

  1.     Reaksi Hospitalisasi Anak
  2.       Hospitalisasi pada Anak

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2000). Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak. Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya suatu tekanan atau krisis pada anak. Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka anak tersebutakan mudah mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian kejadian yang sifatnya menekan (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).

 

  1.       Hospitalisasi pada Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekoolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun (Supartini, 2004). Menurut Sacharin (1996), anak usia prasekolah sebagian besar sudah dapat mengerti dan mampu mengerti bahasa yang sedemikian kompleks. Selain itu, kelompok umur ini juga mempunyai kebutuhan khusus, misalnya, menyempurnakan banyak keterampilan yang telah diperolehnya.

Pada usia ini, anak membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk proses tumbuh kembangnya. Biasanya anak mempunyai lingkungan bermain dan teman sepermainan yang menyenangkan. Anak belum mampu membangun suatu gambaran mental terhadap pengalaman kehidupan sebelumnya sehingga dengan demikian harus menciptakan pengalamannya sendiri (Sacharin, 1996). Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang dirasakanya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004). Beberapa hal tersebut membuat anak menjadi stres atau tertekan. Sebagai akibatnya, anak merasa gugup dan tidak tenang, bahkan pada saat menjelang tidur.

Anak usia sekoalah sering merasa terkekang selama dirawat di rumah sakit. Hal ini disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, dan cemas atau takut. Anak yang sangat cemas dapat bereaksi agresif dengan marah dan berontak. Kecemasan pada anak biasanya muncul karena berbagai perubahan yang muncul di sekelilingnya, baik fisik maupun emosional. Dapat juga akibat kurangnya support system yang ada di sekitarnya. Sedangkan gejala klinis kecemasan yang sering ditemukan pada anak adalah perasaan cemas, kekhawatiran, dan mudah tersinggung (Hawari, 2001). Selain itu, pada anak yang mengalami kecemasan, dalam kesehariannya terlihat tidak tenang, konsentrasi menurun, adanya perubahan pola tingkah laku dalam kesehariannya, bahkan hingga dapat menyebabkan gangguan pola tidur.

Anak yang mengalami kecemasan akan memunculkan respon fisologis, seperti perubahan pada sistem kardiovaskuler, perubahan pola nafas yang semakin cepat atau terengah-engah. Selain itu, dapat pula terjadi perubahan pada sistem pencernaan dan neuromuscular seperti nafsu makan menurun, gugup, tremor, hingga pusing dan insomnia. Kulit mengeluarkan keringat dingin dan wajah menjadi kemerahan. Selain respon fisiologis, biasanya anak juga akan menampakkan respon perilaku, seperti gelisah, ketegangan fisik, tremor atau gemetar, reaksi kaget, bicara cepat, menghindar, hingga menarik diri dari hubungan interpersonal. Respon kognitif yang mungkin muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir, tidak mampu berkonsentrasi, dan ketakutan. Sedangkan respon afektif yang biasa muncul adalah tidak sabar, tegang, dan waspada (Stuart & Sundeen, 1998).

 

  1.       Stresorpada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan yang dialaminya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan status kesehatan anak, perubahan lingkungan, maupun perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Stresor atau pemicu timbulnya stres pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat berupa perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial, maupun spiritual.

Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kuang nyaman, tingkat kebersihan kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak marasa kurang nyaman (Keliat, 1998). Beberapa perubahan lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat membuat anak merasa asing. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak aman dan tidak nyaman. Ditambah lagi, anak mengalami perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialaminya saat sakit. Adanya perlukaan dan rasa nyeri membuat anak terganggu. Reaksi anak usia prasekolah terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi.

Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti menendang dan memukul. Namun, pada akhir periode balita anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Beberapa perubahan lingkungan fisik yang dialami selama dirawat di rumah sakit, pada akhirnya dapat menyebabkan anak mengalami stres emosi. Menurut penenlitian yang dilakukan di instalasi rawat inap Badan RSUD Dr. M. Ashari Kabupaten Pemalang, dengan jumlah responden 68 orang didapatkan hasil 43 orang (61,8 %) menyatakan mengalami stress emosi selama dirawat di rumah sakit, sedangkan 26 orang (32,8 %) menyatakan tidak mengalami stress emosi akibat perawatan yang dialaminya (Triyanto, 2006).

Selain perubahan pada lingkungan fisik, stressor pada anak yang dirawat di rumas sakit dapat berupa perubahan lingkungan psiko-sosial. Sebagai akibatnya, anak akan merasakan tekanan dan mengalami kecemasan, baik kecemasan yang bersifat ringan, sedang, hingga kecemasan yang bersifat berat. Pada saat anak menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu akan meninggalkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Pada kondisi cemas akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku. Respon perilaku anak akibat perpisahan di bagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap protes ( phase of protest), tahap putus asa (phase of despair), dan tahap menolak (phase of denial). Pada tahap protes, reaksi anak dimanifestasikan dengan menangis kuat-kuat, menjerit, memanggil orang tuanya atau menggunakan tingkah laku agresif agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang asing atau orang lain.

Tahap putus asa menampilkan perilaku anak yang cenderung tampak tenang, tidak aktif, menarik diri, menangis berkurang, kurang minat untuk bermain, tidak nafsu makan, sedih, dan apatis. Tahap berikutnya dalah tahap menolak dimana anak samar-samar menerima perpisahan, membina hubungan dangkal dengan orang lain serta terlihat menyukai lingkungan. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah anak berpisah lama dengan orang tua. Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga mengalami cemas akibat kehilangan kendali atas dirinya.

Akibat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Kecemasan yang muncul merupakan respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Sedangkan menurut Gunarso (1995), kecemasan juga dapat diartikan rasa khawatir takut tidak jelas sebabnya. Sebuah penelitian yang dilakukan di Badan RSD Kepanjen dengan 20 responden untuk mengukur tingkat kecemasan klien yang menjalani rawat inap. Dari hasil penelitian dan pengolahan data didapatkan skor tertinggi dari tingkat kecemasan klien yang dirawat di BRSD Kepanjen ruang A dan D adalah 83,3%, sedangkan tingkat kecemasan terendah adalah 52,1%. Hasil tersebut dianggap sebagai kategori berat dan prosentase tingkat kecemasan klien rata-rata adalah 67,25%. Data tersebut termasuk klien yang mengalami peningkatan kecemasan selama masa perawatan (Sukoco, 2002). Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki rentang respon dan tingkatan yang berbeda-beda. Menurut Suliswati (2005), ada empat tingkat kecemasan yang dialami individu, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, serta panik. Seorang dapat dikatakan mengalami cemas ringan (mild anxiety) apabila dalam kehidupan sehari-hari seseorang kelihatan waspada ketika terdapat permasalahan. Pada kategori ini seseorang dapat menyelesaikan masalah secara efektif dan cenderung untuk belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Pada kecemasan sedang (moderat anxiety) yang biasa terlihat pada seseorang adalah menurunnya penerimaan terhadap rangsangan dari luar karena individu cenderung fokus terhadap apa yang menjadi pusat perhatiannya.

Sementara itu pada kategori kecemasan berat (severe anxiety) lahan persepsi seseorang sangat menyempit sehingga perhatian seseorang hanya bisa pada hal-hal yang kecil dan tidak bisa berfikir hal lainnya. Kategori terakhir dari tingkat kecemasan adalah panik (panic). Panik merupakan tahap kecemasan yang paling berat. Pada kategori ini, biasanya seseorang tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Biasanya berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan

kehilangan pemikiran yang rasional.

Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisasikan dalam rentang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif adalah reaksi yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi yang menyangkut kecemasan berat atau panik (Suliswati, 2005). Pada seseorang tanda dan gejala kecemasan dapat ditemukan dalam batasan karakteristik kecemasan yang berbeda (Tucker, 1998).

Pada kecemasan ringan biasanya ditandai dengan perasaan agak tidak nyaman, gelisah, imnsomnia ringan akibat perubahan pola perilaku, perubahan nafsu makan ringan. Sementara pada kecemasan sedang merupakan perkembangan dari kecemasan ringan. Seseorang akan terlihat lebih berfokus pada lingkungan, konsentrasi hanya pada tugas individu, dan jumlah waktu yang digunakan dalam mengatasi masalah bertambah. Selain itu, terjadi takipneu, takikardi, serta terjadi peningkatan ketegangan otot karena tindakan fisik yang berlebihan (Tarwoto dan Wartonah, 2004). Tanda dan gejala pada kecemasan berat merupakan lanjutan dari kecemasan sedang. Biasanya seseorang akan mengalami perasaan terancam, terjadi perubahan pernafasan, perubahan gastrointestinal, serta perubahan kardiovaskuler.

Selain itu, seseorang yang mengalami kecemasan berat akan kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi (Stuart & Sundeen, 1998). Sementara itu, tanda dan gejala klinis dari kategori panik menurut Townsend (1998), merupakan gambaran dari kecemasan tingkat berat sekali dengan tanda hiperaktifitas atau imobilisasi berat. Kecemasan yang timbul baik akibat perubahan fisik maupun psiko-sosial pada anak yang dirawat di rumah sakit membuat anak merasa tidak nyaman dan tertekan. Kondisi tersebut akan menimbulkan stress pada anak selama masa perawatan di rumah sakit dan sering dikenal dengan stress hospitalisasi.

 

  1.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Anak Usia Prasekolah terhadap Hospitalisasi

Reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit beredabeda pada masing-masing individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perkembangan usia anak merupakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak (Supartini, 2004). Menurut Sacharin (1996), semakin muda anak semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di rumah sakit. Hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi bayi yang masih sangat muda, walaupun tetap dapat merasakan adanya pemisahan. Selain itu, pengalaman anak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat berpengaruh. Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004). Sistem pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit dimana ia dirawat.

Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat merasa kesakitan. Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak selama masa perawatan termasuk di dalamnya adalah keluarga dan pola asuh yang didapat anak dalam di dalam keluarganya.

Keluarga yang kurang mendapat informasi tentang kondisi kesehatan anak saat dirawat di rumah sakit menjadi terlalu khawatir atau stres akan menyebabkan anak menjadi semakin stres dan takut. Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan keluarga yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif bila dirumah sakit. Selain itu, keterampilan koping dalam menangani stress sangat penting bagi proses adaptasi anak selama masa perawatan. Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima kondisinya yang mengharuskan dia dirawat di rumah sakit, anak akan lebih kooperatif selama menjalani perawatan di rumah sakit.

 

  1.          Reaksi Anak Usia Prasekolah terhadap Stres akibat Sakit dan Dirawat di Rumah Sakit

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak dirawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis karena anak stres akibat perubahan baik pada status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, dan anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan (Nur Salam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Akibat dari hospitalisasi akan berbeda-beda pada anak bersifat individual dan sangat tergantung pada tahapan perkembangan anak. Anak usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan sedikit ketakutan. Selain itu ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul perasaan malu dan bersalah.

Ada beberapa diantaranya akan menolak masuk rumah sakit dan secara terbuka menangis tidak mau dirawat. Jika anak sangat ketakutan, anak dapat menampilkan perilaku agresif, dari menggigit, menendangnendang, hingga berlari keluar ruangan. Ekspresi verbal yang ditampilkan seperti dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua. Anak pada usia pra sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terlambat (Wong, 2000). Biasanya anak akan melontarkan beberapa pertanyaan karena bingung dan anak tidak mengetahui keadaan di sekelilingnya. Selain itu, anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah atau mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi, beberapa prosedur medis dapat membuat anak semakin takut, cemas, dan stres. Reaksi anak usia prasekolah terhadap perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan lingkungan yang nyaman, penuh kasih sayang, lingkungan bermain, permainan, dan teman bermain.

Reaksi kehilangan kontrol anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu yang erat (Wong, 2000). Anak harus mengatasi berbagai sumber stress seperti rasa sakit, lingkungan rumah sakit, aturan- aturan dokter serta treatment yang diberikan. Proses perawatan yang sering kali membutuhkan waktu lama akhirnya menjadikan anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang dikembangkan anak untuk beradaptasi terhadap penyakitnya. Beberapa prilaku anak dalam upaya beradaptasi terhadap masalahnya selama dirawat di rumah sakit, antara lain dengan penolakan (avoidence), anak akan berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan.

Biasanya anak bersikap tidak kooperatif terhadap petugas medis. Selain itu anak akan berusaha mengalihkan perhatian (distraction) dari pikiran atau sumber yang membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak di rumah sakit misalnya membaca buku cerita, menonton televisi, atau bermain mainan yang disukai. Anak akan berusaha untuk aktif (active), mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara aktif. Perilaku yang sering dilakukan seperti menanyakan kondisi sakitnya kepada petugas medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif, minum obat secara teratur, dan mau beristirahat sesuai dengan peraturan.akhirnya, anak akan berusaha mencari dukungan dari orang lain (support seeking) untuk melepaskan tekanan yang dialaminya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunngui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat menjalani treatment, dan minta dipeluk saat merasa kesakitan.

 

  1.     Konsep Tumbuh Kembang Anak
  2.       Perkembanagn psikosial menurut Erikson
  3.        Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Ketidak percayaan).

Mulai lahir sampai usia 12-18 bulan. Bayi mengembangkan perasaan nyaman dengan lingkungan atau suatu situasi yang menimbulkan rasa percaya. Jika bayi tidak merasakan rasa nyaman ia tidak akan percaya akan lingkungannya.

  1.       Autonomy vs Shame and Doubt (Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu).

Pada usia toddler (balita anak yg baru pandai berjalan). Anak belajar tentang hak dan kewajiban serta batasan-batasan dalam lingkungannya. Saat ini akan berkembang kebebasan mengungkapkan dirinya sendiri. Anak juga belajar menyayangi, mengendalikan diri serta bangga terhadap kemampuan yang dimilikinya.

Masa ini, orangtua diharapkan mampu mendorong hal-hal yg mampu dilakukan anak serta patut dilakukan serta mampu melarang hal-hal yang mampu dilakukan anak tapi tak patut dilakukan. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Hati-hati dengan sikap terlalu perhatian atau terlalu membebaskan, karena dapat menyebabkan sikap pemalu dan peragu yang menetap.

  1.        Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah).

Terjadi pada periode perkembangan masa awal anak-anak (tahun pertama pra-sekolah 3-6 tahun).  Anak akan lebih kreatif dan secara fisik akan lebih seimbang maupun kejiwaannya. Ditambah lagi jika orang tua mampu memberikan dorongan dan mengasah kemampuan dalam berkreativitas atau membantu anak untuk melaksanakan tugasnya, dan jika orang tua tidak memberikan dorongan atau tidak membantu anak untuk menyelesaikan tugas-tugasnya ataupun orang tua terlalu keras mendidik dengan banyak hukuman saat anak sedang berusaha menunjukkan dirinya bahwa ia bisa atau pun ia ingin, maka anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu takut salah dan tidak ingin mencoba sesuatu yang baru.

  1.       Industry vs Inferiority (Tekun vs Rasa Rendah Diri).

Terjadi pada periode perkembangan masa pertengahan dan akhir anak-anak (6 tahun–pubertas). Masa awal anak-anak yang penuh imajinasi, ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan & keterampilan intelektual. Tertarik pada bagaimana sesuatu diciptakan & bagaimana sesuatu itu bekerja. Orang tua atau guru memberikan antusiasme pada daya tarik anak pada kegiatannya, untuk mendorong bangkitnya rasa tekun anak.

Periode ini anak berpikir intuisif atau berpikir mengandalkan ilham, anak-anak berimajinasi memperoleh kemampuan 1 langkah berpikir mengkoordinasi pemikiran & idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Erikson yakin guru mempunyai tanggung-jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak, guru secara lembut tetapi tegas memaksa anak-anak ke dalam pencarian untuk menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak ia pikirkan sendiri (perkembangan kognitif ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa). Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.

  1.        Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran).

Terjadi pada periode perkembangan masa remaja 12 -20 tahun. Selama masa ini individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau sifat memperbaharui, mulai menyadari sifat – sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan – tujuan yang dikejarnya di masa depan kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang ( masa untuk membuat rencana – rencana karier ).

  1.        Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan).

Terjadi pada periode perkembangan masa awal dewasa (20-24 tahun). Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesediaan meleburkan diri dengan diri orang lain, tanpa merasa takut merugi atau kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya yang disebut Intimasi. Ketidak mampuan untuk masuk kedalam hubungan yang menyenangkan serta akrab dapat menimbulkan hubungan sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup.

  1.       Generativity vs Stagnation (Perluasan vs Stagnasi).

Generativitas yang ditandai jika individu mulai menunjukkan perhatiannya terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk – produk, ide – ide, dan keadaan masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan generasi – generasi mendatang adalah merupakan hal yang positif. Sebaliknya, apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami pemiskinan serta stagnasi, jika pada usia ini kehidupan individu didominasi oleh pemuasan dan kesenangan diri sendiri saja. Individu negatif tidak menunjukkan fungsi – fungsi produktif, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.

  1.       Integrity vs Despair (Integritas dan Kekecewaan).

Terjadi pada periode perkembangan masa akhir dewasa (60 tahunan). Masa ini menunjukkan positif, jika memiliki kepribadian yang bulat utuh yang ditandai sikap bijaksana, rasa puas terhadap masa hidupnya dan tidak takut menghadapi kematian. Sebaliknya, kepribadian yang pecah selalu menunjukkan pribadi yang penuh keraguan, merasa selalu akan menerima kegagalan dan merasa selalu dibayangi kematian.

  1.       Perkembangan psikoseksual menurut Sigmun Freud
  2.        Tahap Oral.

Tahap perkembangan ini terjadi dari lahir sampai usia 18 bulan, yaitu sumber kenikmatan utama pada bayi berorientasi pada mulut. Seperti memnghisap dan menelan.

  1.       Tahap Anal.

Tahap perkembangan ini terjadi pada usia 12/18 bulan sampai 3 tahun, yaitu anak mendapatkan kepuasan dengan menahan atau melepaskan feces. Zona kepuasaannya adalah daerah anal dan toilet training merupakan aktivitas penting.

  1.        Tahap phalic.

Terjadi pada usia 3 sampai 6 tahun, yaitu anak lebih dekat dengan orang tua yang jenis kelaminnya berlawanan dan kemudian mengidentifikasikannya dengan orang tua berjenis kelamin sama. Pada masa ini suoerego anak berkembang.

  1.       Tahap Latency

Terjadi pada usia 6 tahun sampai pubertas, yaitu merupakan tahap yang paling baik dalam perkembangan kecerdasan (masa sekolah), dan dalam tahap ini seksualitas seakan-akan mengendap, tidak lagi aktif dan menjadi laten. Pada masa ini anak lebih mudah dididik dari pada fase sebelum dan sesudahnya.

  1.        Tahap Genital

Terjadi pada pubertas sampai kedewasaan, yaitu mempunyai sifat narcistis artinya individu mempunyai kepuasan dari perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri dan orang lalin. Pada tahap ini diarahkan ke objek diluar; si puber mulai belajar mencintai orang lain karna alasan altruistis bikan karena alasan narcistis.

  1.       Perkembanagan atau kemampuan motorik menurut Piaget

Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:

  1.        Sub-tahapan skema refleks, muncul 0-6 minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
  2.       Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia 6 minggu sampai 4 bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  3.        Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia 4-9 bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
  4.       Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia 9-12 bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  5.        Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia 12-18 bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
  6.        Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

 

  1.        Konsep dan Jadwal Imunisasi pada anak

Imunisai harus ditunda bila anak demam dan kontraindikasi pada bayi dengan riwayat reaksi lokal berat, umum, atau neurologik.

 

Jadwal imunisai yang disarankan

 

Umur Vaksin
Bayi baru lahir BCG (bayi dengan riwayat keluarga menderita TBC atau anak imgran dengan risiko : periksa nodus setelah 6 minggu.
2 bulan DPT, Poliomielitis ; HIB dosis pertama
3 bulan DPT, Poliomielitis ; HIB dosis kedua
4 bulan DPT, Poliomielitis ; HIB dosis ketiga
12- 18 bulan MMR
4-5 tahun DT dan polio booster. MMR
10-14 tahun BCG bila tes tuberculin negatif, rubella (semua anak prempuan yang tidk diberi MMR)
Hampir lulus DT, Polio dosis kelima

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

  1.     Simpulan

 

Dewasa ini , keperawatan anak telah mengalami perubahan yang sangat mendasar yaitu munculnya orientasi pelayanan, dari perawatan isolasi menjadi rooming in. Dengan di terimanya family centred care atau asuhan yang berpusat pada keluarga sebagai satu pendekatan dalam merawat anak . anak bukanlah miniatur orang dewasa melainkan individu yang sedang berada dalam proses tumbuh kembang dan mempunyai kebutuhan yang spesifik. Sepanjang rentang sehat sakit, anak membutuhkan bantuan perawat baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga tumbuh kembangnya dapat terus berjalan . orangtua di yakini sebagai orang yang paling tepat dan paling baik dalam memberikan perawatan pada anak baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan perawat memberikan bantuan apabila keluarga tidak mampu melakukannya.

Bantuan perawat yang di berikan pada orang tua adalah dalam bentuk pelayanan profesional, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar yang spesifik, yaitu kebutuhan oksigen , makan , minum eliminasi dan kehangatan selain kebutuhan lainnya seperti cinta kasih rasa aman dan perlindungan . atraumatic care atau asuhan yang terapeutik telah di terima sebagai satu prinsip dalam melaksanakan askep karena merupakan tindakan yang tepat yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang di alami anak maupun orang tuanya selama dalam perawatan di rumah sakit.

Peran penting seorang perawat profesional dalam menjalankan asuhan keperawatan adalah sebagai pembela , pendidik, konselor, koordinator, pembuat keputusan etik, perencana kesehatan dan peneliti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Potter & perry. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep,Proses, dan Praktik Volume 1. Penerbit            Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Alimul Hidayat, Aziz. 2005. pengantar ilmu keperawatan anak 1. Salemba Medika: Surabaya.

Okt 2011 – From: http://www.itokindo.org (free pdf – Manajemen Modern dan Kesehatan Masyarakat)

 

 

ASKEP ANDIN

Asuhan keperawatan

Dosen: Ns. Siti Rahimah Harahap, S.Kep

 

 

 

 

Disusun Oleh:

Andin Isprastika Subagyo

(I1031131013)

 

 

Program Studi Ilmu Keperawan

Fakultas Kedokteran

Universitas Tanjungpura

2014

 

 

 

 

Triggered case:

Seorang pemuda datang ke UGD setelah terjatuh saat bermain bola. Saat kejadian, pasien mengatakan ia menendang permukaan tanah ketika akan menendang bola. Sejak saat itu ia selalu mengeluh nyeri pada paha kiri bila kaki kirinya digerakkan. Selain itu terdapat luka ringan pada betis. Sejak 12 jam yang lalu, ia pun mengeluh tak dapat tidur akibat nyeri berat yang dirasakan. Data lain yang didapatkan dari pasien adalah TD 120/80 mmHg, Suhu 37,8C, RR 16x/menit dan Nadi 78x/menit.

 

  1. Analisis Data

No

Data

Masalah

 

Subjektif:

–          pasien selalu mengeluh nyeri pada paha kiri bila kakinya digerakkan

–          pasien mengeluh tidak dapat tidur akibat nyeri berat yang dirasakan

objektif:

–          pasien kesulitan tidur

tambahan:

–          klien tampak meringis

Nyeri akut

 

Subjektif:

Objektif:

–          suhu 37,8 ͦC

tambahan:

–          pasien tampak dehidrasi

–          mukosa bibir kering

–          turgor kulit tidak elastis

Kekurangan volume cairan

 

Subjektif :

–          pasien selalu mengeluh nyeri pada paha kiri bila kakinya digerakkan

Objektif :

–          pasien sulit beraktivitas akibat nyeri yang dialami

Hambatan mobilitas fisik

 

Subjektif:

Objektif:

–          terdapat luka ringan pada betis

tambahan:

–          suhu 37,8 ͦC

Kerusakan integritas kulit

 

Subjektif:

–          pasien mengeluh kaki kirinya nyeri bila digerakkan

Objektif:

–          pasien tampak kesulitan saat menggerakkan kakinya

Resiko cidera

 

Subjektif:

–          pasien mengeluh kaki kirinya nyeri bila digerakkan

Objektif:

Tambahan:

–          pasien tidak mampu menyeimbangkan tubuh saat berjalan karena kaki kirinya nyeri

Resiko jatuh

 

Subjektif:

–          klien mengeluh tidak dapat tidur akibat nyeri

Objektif:

Tambahan:

–          klien tidak mendapat tidur yang cukup

Gangguan rasa nyaman

 

Subjektif:

–           

Objektif:

–          Luka pada betis

Tambahan:

–          suhu 37,8 ͦC

Resiko infeksi

 

 

 

 

 

  1. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

No

Diagnosa keperawatan

Tujuan

Rencana tindakan (intervensi)

Rasional

 

Nyeri akut

Tujuan:

–          Mengetahui level neri, mengontrol nyeri, serta mengatasi nyeri

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Pasien melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

–          Pasien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

Objektif:

–          Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

–          Mampu mengenali nyeri (skala nyeri,intensitas, frekuensi,dan tanda nyeri)

  1. Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi
  2. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
  3. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan.
  4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
  5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan interpersonal)
  6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
  7. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
  8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
  9. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
  10. Agar kita mengetahui lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitas
  11. Agar mengetahui respon nyeri
  12. Untuk mencegah terjadinya nyeri
  13. Agar faktor presipitasi nyeri berkurang
  14. Mengatasi nyeri bila terjadi
  15. Mengetahui sumber nyeri untuk melakukan intervensi
  16. Agar pasien dapat mandiri dalam menangani nyeri
  17. Agar nyeri berkurang
  18. Agar mengetahui keefektifan kontrol nyeri yang telah kita lakukan
 
 

Kekurangan volume cairan

Tujuan:

–          Menyeimbangkan cairan dan nutrisi

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Pasien mengatakan tidakdehidrasi

Objektif:

–          Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal

–          Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

–          Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan

  1. Pertahankan catatan intake output yang akurat
  2. Monitor status hidrasi jika diperlukan
  3. Monitor status nutrisi
  4. Atur kemungkinan tranfusi
  5. Dorong pasien untuk menambah intake oral
  6. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian
  7. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

 

  1. Agar mengetahui intake dan output
  2. Agar mengetahui status hidrasi klien
  3. Agar dapat menjaga status nutrisi klien
  4. Agar cairan seimbang
  5. Agar volume cairan meningkat
  6. Agar dapat mengetahui intake kalori harian yang masuk
  7. Agar pasien lebih bersemangat untuk makan
 

Hambatan mobilitas fisik

Tujuan:

–          Membantu pasien agar mampu bergerak aktif secara mandiri

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Klien mengatakan meningkat dalam aktivitas fisik

Objektif:

–          Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

–          Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

–          Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)

  1. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
  2. Berikan alat bantu jika klien membutuhkan
  3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
  4. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
  5. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
  6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
  7. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
  8. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
  9. Agar ambulasi yang dilakukan lebih efektif
  10. Membantu pasien dalam mobilitas
  11. Mengurangi resiko cidera pada pasien saat berjalan
  12. Agar mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam mobilisasi
  13. Agar pasien dapat melaksanakan ambulasi secara mandiri
  14. Agar pasien dapat memenuhi kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuannya
  15. Agar keamanan pasien terjaga saat melakukan mobilisasi
  16. Agar pasien dapat mandiri merubah posisi
 
 

Kerusakan integritas kulit

Tujuan:

–          Memperbaiki integritas kulit   dan membran mucous

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Pasien menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang

Objektif:

–          Integritas kulit yang baik dapat dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)

–          Tidak ada luka/ lesi pada kulit

–          Perfusi jaringan baik

–          Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan alami

  1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian longgar
  2. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
  3. Monitor kulit akan adanya kemerahan
  4. Oleskan baby oil/ lotion atau minyak pada daerah yang tertekan
  5. Monitor status nutrisi pasien
  6. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
  7. Agar lukanya tidak lengket ke pakaian
  8. Mencegah terjadinya dekubitus
  9. Agar dapat segera menangani kemerahan tersebut
  10. Meminimalisir terjadinya dekubitus
  11. Agar nutrisi pasien tetap seimbang
  12. Mencegah terjadinya infeksi
 
 

Resiko cidera

Tujuan:

–          mengontrol resiko cidera

kriteria hasil:

subjektif:

–          klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cidera

objektif:

–          klien terbebas dari cidera

–          mampu mengenali perubahan status kesehatan

  1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
  2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
  3. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
  4. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
  5. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit
  6. Mengontrol lingkungan dari kebisingan

 

  1. Agar pasien lebih aman
  2. Agar mengetahui kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
  3. Agar pasien merasa lebih aman
  4. Mengurangi resiko cidera pada pasien
  5. Agar pasien dan keluarga dapat mengetahui jika ada perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit bila terjadi
  6. Agar pasien merasa nyaman
 

Resiko jatuh

Tujuan:

–          Mencegah resiko trauma dan kecelakaan

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Pasien dapat melakukan gerakan secara terkoordinasi

Objektif:

–          Pasien tidak jatuh

–          Pemahaman pencegahan jatuh

  1. Identifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi resiko jatuh
  2. Dorong pasien untuk menggunakan tongkat atau alat bantu berjalan
  3. Kunci roda dari kursi roda, tempat tidur atau brankar selama transfer pasien

 

  1. Mengetahui faktor yg menyebabkan jatuh
  2. Menghindarkan pasien dari resiko jatuh
  3. Agar pasien aman dan tidak jatuh
 

Gangguan rasa nyaman

Tujuan:

–          Memberikan kenyamanan pada pasien dan   menghilangkan kecemasan pasien

Kriteria hasil:

Subjektif:

–          Pasien mampu mengontrol kecemasan

 

Objektif:

–          Status lingkungan yang nyaman

–          Kualitas tidur dan istirahat adekuat

–          Status kenyamanan meningkat

  1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
  2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
  3. Dorong Keluarga untuk menemani pasien
  4. Identifikasi tingkat kecemasan

 

  1. Agar pasien lebih tenang
  2. Agar pasien tidak terganggu selama prosedur
  3. Agar pasien merasa lebih aman bersama keluarga
  4. Agar kecemasan dapat diatasi
 

Resiko infeksi

Tujuan:

–          mengetahui status imun

–          mengontrol infeksi dan resikonya

kriteria hasil:

subjektif:

–          klien menunjukkan perilaku hidup sehat

–          klien menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

objektif:

–          klien bebas dari gejala dan tanda infeksi

–          mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya

–          jumlah leukosit dalam batas normal

Infection control:

  1. bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
  2. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
  3. tingkatkan intake nutrisi

infection protection:

  1. monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
  2. monitor kerentanan terhadap infeksi
  3. batasi pengunjung
  4. pertahankan teknik isolasi k/p
  5. instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
  6. ajarkan pasien tanda dan gejala infeksi
  7. ajarkan cara menghindari infeksi
  8. laporkan kecurigaan infeksi

 

  1. agar tidak terjadi penularan penyakit
  2. mencegah terjadinya infeksi pada luka klien
  3. agar luka cepat sembuh
  4. agar mengetahui jika ada tanda terjadi infeksi sehingga dapt langsung dicegah
  5. agar dapat menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi
  6. mencegah terjadinya penularan bakteri dari pengunjung
  7. mencegah infeksi
  8. agar terhindar dari infeksi
  9. agar pasien mengetahui jika akan terjadi infeksi
  10. agar pasien mengetahui cara menghindari infeksi
  11. agar infeksi dapat dicegah

 

 

 

  1. Implementasi dan Evaluasi

Tgl/jam

Diagnosa keperawatan

Implementasi

Evaluasi

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 1

–          melakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi

–          mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

–          mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan.

–          mengurangi faktor presipitasi nyeri

–          memilih dan melakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan interpersonal)

–          mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

–          mengajarkan tentang teknik nonfarmakologi

–          memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri

–          mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri

S: pasien mengatakan nyerinya berkurang

 

O: pasien terlihat lebih baik

 

A: masalah teratasi sebagian

 

P: pertahankan intervensi 3-9

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 2

–          mempertahankan catatan intake output yang akurat

–          memonitor status hidrasi jika diperlukan

–          memonitor status nutrisi

–          mengkolaborasikan dengan dokter

–          mengatur kemungkinan trnfusi

–          mendorong pasien untuk menambah intake oral

–          memonitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian

–          mendorong keluarga untuk membantu pasien makan

S: pasien mengatakan tidak dehidrasi

 

O: pasien tampak lebih segar

 

A: masalah teratasi

 

P: lanjutkan intervensi 6-7

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 3

–          mengonsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan

–          memberikan alat bantu jika klien membutuhkan

–          membantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

–          mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

–          mengajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

–          melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

–          mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien

–          mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

S: pasien mengatakan sudah dapat bermobilitas tanpa bantuan alat tapi gerakannya masih terbatas

 

O: pasien terlihat lebih aktif

 

A: masalah teratasi sebagian

 

P: lanjutkan intervensi 7 & 8

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 4

–          menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian longgar

–          memobilisasi pasien setiap 2 jam sekali

–          memonitor kulit akan adanya kemerahan

–          mengoleskan baby oil/ lotion atau minyak pada daerah yang tertekan

–          memonitor status nutrisi pasien

–          menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

S: pasien mengatakan lukanya membaik

 

O: tidak ada lesi/ luka

 

A: masalah teratasi

 

P: lanjutkan intervensi 4

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 5

–          menyediakan lingkungan yang aman untuk pasien

–          mengidentifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik dan fungsi kognitifpasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien

–          menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

–          memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan

–          memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

–          Mengontrol lingkungan dari kebisingan  

 

S: klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cidera

 

O: klien terbebas dari cidera

 

A: masalah teratasi

 

P: lanjutkan semua intervensi

 

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 6

–          mengidentifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi resiko jatuh

–          mendorong pasien untuk menggunakan tongkat atau alat bantu berjalan

–          mengunci roda dari kursi roda, tempat tidur atau brankar selama transfer pasien

 

S: Pasien dapat melakukan gerakan secara terkoordinasi

 

O: pasien dapan mencegah terjadinya jatuh

 

A: masalah teratasi

 

P: lanjutkan intervensi 1

 

26 maret 2014

Pukul 21.00

Dx 7

–          menggunakan pendekatan yang menenangkan

–          menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur

–          mendorong Keluarga untuk menemani pasien

–          mengidentifikasi tingkat kecemasan

 

S: pasien mampu mengontrol kecemasan meskipun masih kurang nyaman

 

O: kenyamanan pasien sedikit meningkat

A: masalah teratasi sebagian

 

P: lanjutkan semua intervensi

26 maret 2014

Pukul 09.00

Dx 8

Infection control:

–          membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

–          mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

–          meningkatkan intake nutrisi

infection protection:

–          memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

–          memonitor kerentanan terhadap infeksi

–          membatasi pengunjung

–          mempertahankan teknik isolasi k/p

–          menginstruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

–          mengajarkan pasien tanda dan gejala infeksi

–          mengajarkan cara menghindari infeksi

–          melaporkan kecurigaan infeksi

S: klien menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

 

O: klien bebas dari gejala dan tanda infeksi

 

A: masalah teratasi

 

P: lanjutkan intervensi 5.6.7.11

 

 

 

PELANGI SENJA | FIRST POSTING

Sejak kehadiranmu hingga kini

Ruang hatiku beraroma wangi

Buaian bunga rindu menari

Yang kau tinggalkan di hati

Makin hari makin bersemi

Tanpa layu senyum ini

Tersiram cinta suci

Darimu kekasih hati

Jangan biarkan ku sendiri

Ku hanya ingin memiliki

Dirimu seutuhnya cinta sejati

Menjadi harga mati tak tertawar lagi

Andai ada pengganggu hati

Hati ini terus tegas menghadapi

Janganlah engkau ragu lagi

Hati ini milikmu abadi